Merupakan sultan ke 7 Kesultanan Qadriah Pontianak, dengan nama asli Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie, tokoh ini memiliki peran yang cukup signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di Pontianak, Kalimantan Barat pada 12 Juli 1913, dan merupakan putra sulung sultan pontianak ke 6, Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dengan istrinya, Syecha Jamilah Syarwani.
Hamid dibesarkan oleh ibu angkatnya yang berasal dari Skotlandia, Salome Catherine Fox dengan rekan ekspatriatnya asal Inggris, Edith Maud Curteis. Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris dan mendapat pendidikan yang cukup modern untuk zamannya.
Ia mengenyam pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta dan Bandung. Kala mengenyam pendidikan ELS di yogyakarta, ia sekelas dan bersahabat dengan Gusti Raden Mas Dorodjatun, yang kelak dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono IX.
Hamid lalu melanjutkan pendidikannya ke HBS Bandung dan HBS V (5) di malang.
Pada 1932, ia melanjutkan pendidikannya di Technische Hogeschool te Bandung yang kini bernama Istitut Teknologi Bandung (ITB) selama setahun. Ia lebih tertarik untuk masuk Akademi Militer di Breda, Belanda.
Ia akhirnya bertemu kembali dengan sahabatnya itu, namun kini keduanya telah bertolak belakang. Hamid mengagumi Belanda, sementara Hamengkubuwono IX membenci Belanda.
Setelah lulus pada tahun 1938, ia bergabung dengan KNIL lalu dilantik sebagai perwira dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karier militernya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa.
Ketika jepang berkuasa, Hamid ditahan selama 3,5 tahun di Jakarta. Ketika Jepang menyerah, ia kembali aktif dalam dunia kemiliteran di KNIL dengan pangkat kolonel
Ia resmi menjadi sultan ke 7 Kesultanan Gadriyah pontianak pada 29 oktober 1945.
Pada tahun 1946, karir kemiliterannya berkembang pesat. Ia kemudian diangkat menjadi mayor jendral KNIL lalu menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhemina.
Kemudian Ia berpendapat bahwa, Indonesia merupakan negara kepulauan maka akan lebih cocok apabila bersatu dalam suatu bentuk negara federal. Ia beserta kerajaan” di kalimantan barat membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai daerah otonom serta menjalin persemakmuran dengan belanda.
Dalam kepengurusannya di DIKB sejak 1947 hingga 1950, ia turut serta dalam pembentukan BFO atau perhimpunan musywarah federal bersama dengan berbagai tokoh politik di daerah otonom se pulau kalimantan, sulawesi, sumatra, jawa maluku dan bali
Pada 1949, ia terpilih sebagai ketua BFO. Tak lupa, ia terus berusaha memperjuangkan konsep negara federal dalam berbagai perundingan, mulai dari perundingan malino hingga konferensi meja bundar.
Hamid memimpin delegasi BFO pada KMB yang berlangsung di Den Haag, Belanda yang belangsung antara 23 agustus hingga 2 november 1949.
KMB dihadiri 3 pihak yakni dari pihak belanda, indonesia dan BFO. Atas persetujuan dari BFO, terbentuklah RIS yang dipimpin oleh IR. soekarno sebagai presiden dan Moh.Hatta sebagai perdana menteri.
Setelah RIS berdiri, Hamid sebagai menteri negara tanpa portofolio berperan dalam mendesign sketsa lambang negara berupa burung garuda yang kelak disempurnakan hingga seperti saat ini.
Perjalanan hidup dari Sultan Hamid menimbulkan perdebatan apakah ia layak disebut sebagai pahlawan nasional atau tidak. Di satu sisi, ia menginginkan Indonesia untuk merdeka dan menunjukkan sisi nasionalismenya dalam ikut merancang lambang negara. Disisi lain, ia memperjuangkan bentuk negara federalis yang terkesan sebagai kaki tangan belanda. Walaupun demikian, konsep negara federal yang ia perjuangkan merupakan langkah awal bagi Republik Indonesia untuk merdeka sebagai suatu negara kesatuan.
Min kok jarang upload di instagram?
Lagi disiapin ini mulai lagi di instagram, tunggu aja
Ntap euy :v