Manifes Kebudayaan adalah pernyataan cita-cita kebudayaan yang lahir sebagai reaksi terhadap Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat). Manifes Kebudayaan ini muncul akibat dari kebebasan berekspresi yang pada saat itu terganggu. Hal itu disebabkan karena adanya tekanan dari Lekra, yang pada masa itu menguasai kehidupan kesenian dan kesusastraan Indonesia.
Lekra sendiri secara ofensif mempropagandakan semboyaan “seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima”. Semboyan “politik sebagai panglima” ini menggambarkan bahwa kepentingan partai merupakan yang paling utama dan diatas segalanya, termasuk juga diatas sastra.
Tekanan dari Lekra ini akhirnya membuat pada sastrawan non-Lekra membentuk organisasi-organisasi kebudayaannya sendiri. Kebanyakan dari mereka harus berlindung dibawah partai politik ‘tertentu’ agar dapat bertahan. Hingga akhirnya, beberapa seniman dan sastrawan yang tidak ingin menghubungkan karyanya dengan politik pun membuat sebuah pernyataan bersama, yaitu Manifes Kebudayaan.
Manifes kebudayaan kemudian kembali dirumuskan. Dan pada tanggal 24 Agustus 1963, Manifes Kebudayaan akhirnya disahkan dan ditandatangani oleh 22 orang seniman dan sastrawan Indonesia.
Meskipun demikian, ada beberapa perbedaan antara naskah rancangan dengan yang ditandatangani. Pada naskah yang ditandatangani, penjelesan didalamnya diubah menjadi lebih ringkas dan tidak mengandung kritik dan pernyataan yang sekiranya dapat menimbulkan perselisihan.
Dalam naskah Manifes Kebudayaan kita dapat melihat cita-cita kebudayaan yang diinginkan manifestan. Ada empat hal yang menjadi inti Manifes Kebudayaan.
Dalam Manifes Kebudayaan, dapat terlihat cita-cita kebudayaan yang diinginkan oleh manifestan. Secara keseluruhan, ada empat hal yang merupakan inti dari Manifes Kebudayaan, yaitu:
- Menolak adanya subordinasi bidang kebudayaan terkait semboyan “politik adalah panglima”.
- Menolak semboyan “politik di atas estetika” dan “estetika di atas seni”.
- Menolak semboyan “the end justifies the means”.
- Menyatakan setuju dengan konsep humanisme universal.
Manifes Kebudayaan juga menyerang kembali Lekra, dengan menyebut bahwa Lekra anti-Manipol. Kedua kubu tersebut mencoba untuk mempertentangkan ideologi lawannya dengan ajaran atau prinsip dari Presiden Soekarno. Mereka pun akhirnya berusaha mencari dukungan dari Soekarno dengan cara mendekatinya dan mendukung pemikiran-pemikirannya sepertinya Manipol-USDEK.
Akhirnya pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno pun melarang Manifes Kebudayaan. Pelarangan ini dilalukan akibat dari Manifes Kebudayaan yang dianggap menyaingi Manifesto Politik serta melemahkan revolusi. Kebebasan berekspresi yang dicita-citakan akhirnya gagal diwujudkan pada masa itu, dan sekaligus membuktikan bahwa “politik adalah panglima”. Dengan demikian, pelarangan ini juga membuat Lekra semakin semakin leluasa dalam menguasai bidang kesenian dan kesusastraan.
Kesusastraan Indonesia pun akhirnya diwarnai oleh karya-karya para sastrawan Lekra, yang mana karya tersebut terus-menerus berbicara tentang ‘rakyat’. Dalam hal ini, rakyat yang dimaksud adalah para buruh dan petani, yang merupakan ‘pilar’ dari PKI. Pelarangan ini sekaligus memperlihatkan bahwa kebebasan berekspresi dalam kesusastraan Indonesia, telah dikalahkan oleh kepentingan politik.